Sebenarnya, tidak tidur hingga larut malam kan biasa bagi seorang santri. Mana ada santri tidur di bawah jam 11-an? Namun, Gus Komar benar-benar tidak bisa terlelap hingga pagi menjelang! Akhirnya, dia dapat dua bonus. Pertama, seminggu ini ia selalu terlelap di Madrasah pagi. Bonus kedua, Yai Mustofa yang masih sahabat karib Abah saat di Pesantren Tebuireng sudah empat kali memajangnya di halaman Madrasah tepat ketika matahari di atas kepala. Sebelum mondok, Abah memang sudah wanti-wanti jika dirinya bertingkah dihukum saja. Soalnya, dia sudah terkenal sering bikin ulah. Abah sudah angkat tangan. Sekalian dipondokkan di sebrang kota sana. Gus Komar memang berasal dari pulau mungil di sebelah Surabaya. Madura. Tepatnya di Kabupaten Sampang. Dan kini, Abah memondokkannya di pesantren terpencil di daerah Sumenep. Jauh banget dari rumah. Abah memang kebangetan. Keterlaluan. Batinnya.
***
Untuk mengurangi kesepian, Gus Komar sengaja membawa seorang santrinya ikut serta. Mat Sirat namanya. Setahun mondok, dia jatuh cinta. Faizah namanya. Leganya, karena dia pun puteri kiai besar di Pamekasan. Hebatnya, cinta itu diterima dengan besar hati oleh Faizah. Jadi, ia yakin Abahnya pasti setuju-setuju saja.
Nah, di situlah semuanya berawal dan berakhir. Dua minggu lagi, Faizah ulang tahun. Dia pernah berjanji memberinya hadiah ultah paling istimewa, paling langka, dan paling mewakili aspirasi hati dan perasaan. Seminggu lebih, ia meminta Mat Sirat mencari ide terunik, terlangka, dan terpaling terjarang. Dia sendiri sudah mentok. Sekarang tinggal sisa seminggu. Saking panik, dia diam-diam keluar dari pondok dan jalan-jalan ke pasar. Barangkali, dapat ide spesial. Hingga sore, mereka tetap saja tidak memperoleh yang dimaksud. Mat Sirat sudah berpeluh keringat.
“Gus, mbok yang wajar saja kan jadi mudah?” saran Mat Sirat letih. Mereka pun beristirahat di depan toko buku dekat pasar. “Ning Faizah kan gila novel? Kasih saja dia novel?”
“Huh, itu sih basi! Kalau novel kan sudah biasa bagi dia? Dia kan kutunya novel!”
“Ya sudah, puisi saja gus!”
“Huh, apalagi itu! Sudah nggak jaman!” Mat Sirat tidak membantah lagi. Bisa-bisa didamprat beruntun. Sudah kapok dia.
“Cari yang baru! Yang langka!” teriak Gus Komar lagi. Peluh keringat Mat Sirat tambah membanjir.
Mat Sirat hanya bisa mengelus dada. Ia bingung sendiri, memangnya apa yang bisa dianggap gusnya itu hal baru? Menjelang magrib, barulah Mat Sirat lega. Sang Gus mengajak balik. Ia tahu, gusnya itu paling kapok berurusan dengan Yai Mustofa.
***
Malam yang ganas. Mat Sirat terpaksa ikut begadang di lantai atas pondok. Beberapa kali, kedua matanya mengatup ngantuk. Tapi Gus Komar cepat-cepat menyiramnya dengan air. Alasan Gus Komar, mencari ide secara berjamaah itu hukumnya sunnah dan lebih barokah ketimbang sendirian. .Malam berikutnya hingga dua hari berturut sehabis ngaji mereka diam bengong di sana. Baru hari ketiga, Gus Komar menggantinya dengan bengong berjamaah di asrama. Nah, di hari keempat, Gus Komar mulai berjingkrak-jingkrak saat iseng membuka lemari seorang santri di kamar blok Z.
“Nah, ini dia! Ini dia!” pekiknya membabi buta sambil memegang kuat-kuat sebuah buku kecil agak tebal. “Akhirnya! Ketemu! Ketemu! Ahaii!!! Wooii!! Ketemuuuu!!!”
Mat Sirat penasaran dan segera mengamati situasi. Ternyata gusnya sedang memegang sebuah novel.
“Kukasih dia novel ini Mat!” serunya kegirangan.
“Loh, katanya ngadiahin novel itu sudah basi gus?” sergahnya. Gus Komar langsung melotot.
“He, tapi novel ini beda! Beda! Coba lihat!” Gus Komar segera menunjukkan novel itu. Mat Sirat bingung. Soalnya, yang namanya novel ya, tetap novel kan?
“Justru itu letak bedanya Mat! Novel ini beda!” Gus Komar kemudian menyerahkan novel mungil itu.
“Baca judulnya. Dan lihat gambarnya. Nah, itu baru mengaspirasi isi hatiku! Huahaha!” Mat Sirat menelaahnya dengan seksama. “Nah, pas bener kan judulnya? Coba baca judulnya keras-keras Mat! Aku ingin mendengarnya dibacakan!’
Dengan masih bingung, Mat Sirat pun segera membacanya.
[Jadilah purnamaku ning!]
“Kurang keras Mat! Lebih keras lagi!”
[Jadi..lah pur…na..ma…ku nnnnning!]
“Huh, masak suaramu kayak bebek sakit encok?” Dengan suara pekak memelas Mat Sirat kembali membacanya lebih keras.
***
RAUT WAJAH Gus Komar langsung berubah saat tahu novel itu milik Gus Umar. Kalo sama-sama gus, mana mungkin bisa dikasih gratisan? Setidaknya minimal dikasih harga miring? Jengkelnya, karena ternyata Gus Umar tidak rela novelnya dibeli.
“Tiga puluh ribu ya?” Gus Umar tetap menggelengkan kepalanya.
“Empat puluh?”
“Nggak boleh!”
“Aku naikkan jadi tujuh puluh?”
“Pokoknya..tetap dan mutlak nggak boleh!”
“Aduh, penting banget nih, Mar. boleh dong ya?” pintanya mulai memelas. Kalau saja, dia mondok di kota dan bukan di daerah terpencil, sudah pasti ia mengubernya hingga dapat! Lha, di daerah pedalaman begini mana ada toko buku begituan?
“Aku itu dapatnya dari kakakku yang mondok di Malang. Sulit dapetin lagi!”
“Gimana, seratus?” kembali Gus Komar memaksa nego. Gus Umar terdiam. Kemudian dia mengangguk.
“Mmm, kalo harga segitu? Ya, sangat boleh!” katanya dengan mata bersinar-sinar. Gus Komar mendengus. Padahal, uang itu barusan saja dikirim sama Abah. Kini, ia hanya pegang uang limapuluh. Untuk sebulan?! Tapi kan demi cinta?
***
Jantung Gus Komar serasa lenyap, ketika Faizah keluar dari pintu. Tadi pagi, melalui tiliksandi rahasia, ia mengirim sandi khusus meminta Faizah datang ke salah satu rumah santri di dekat pasar. Seperti biasa, di tangan Faizah sebuah novel tergemgam. Gus Komar paham betul itu. Ke mana-mana, bukannya kitab yang dipegang. Tapi malah novel. Dia sampe bingung, bisa-bisanya Faizah segila itu sama novel. Dan ia yakin, novel di tangan dirinya adalah novel paling spesial. Ia sudah baca semua novel Faizah. Tak ada yang model begitu. Seumur-umur, baru kali ini ada novel seperti itu. Novel santri man! Mana Faizah punya novel beginian? Kisahnya, hampir mirip dengan kisah sepupu Faizah sendiri. Jadi, surprise banget deh! Dengan ragu-ragu, Faizah pun duduk di depannya yang berjarak dua meter.
“Aku punya hadiah spesial untukmu.” Katanya tanpa basa-basi.
“Hadiah?”
“Lho, kan hari ini kamu ultah?” Faizah tertawa halus.
“Hehe, aku lupa kalo lagi ultah. Nggak pernah dirayain sih! Mana?”
Supaya rasa penasaran Faizah bertambah Gus Komar memintanya meletakkan dulu novel yang dipengangnya di atas meja dan menutup mata. Setelah novel diletakkan di meja, Gus Komar baru mengeluarkan bungkusan dari dalam tasnya. Belum sempat bungkusan itu sampai di meja kedua matanya langsung beku. Beberapa saat ia tertegun. Rasanya, ingin ia memutar waktu mogok ke belakang dan kejadian ini tidak pernah terjadi. Tidak pernah. Sama sekali. Ia sangat ingin hari ini sedang bermimpi. Tapi mata tak bisa ditipu. Ini memang kenyataan. Ia harus menerima kenyataan; hadiah ultah itu bukan lagi sesuatu yang istimewa.
“Kamu beli di mana novelmu?” tanya Gus Komar kacau.
“Di koperasi pondok kan banyak?” Gus Komar bengong. Di koperasi pondok banyak? Yang bener? Berarti? Apa memang dirinya yang kurang gaul? Faizah segera membuka bungkusan itu hati-hati.
“Oh, ini hadiah ultah istimewamu?” tukas Faizah mesam-mesem. Kemudian ia meletakkan dua buah novel itu rapat di meja. Tampak serasi. Apalagi gambar covernya emang nginspirasi!
“Memang spesial. Sangat langka! Istimewa!” lanjut Faizah berulang. Wajah Gus Komar langsung merah seperti kumpulan api unggun. Tapi memang istimewa sih. Lihatlah, dua novel yang kini tergeletak di atas meja itu. Nggak! Bukan kembar kok. Tapi…
[huh, baca sendiri judul dua novelnya tuh!}
[JADILAH PURNAMAKU NING]
[heh, tapi kan novel milik Faizah lebih kusut!]
Langka bukan? Istimewa bukan?
[Kalau saja cowok boleh menangis… ]
Hiks!
_________________________________
*Alumnus Santri Mambaul Maarif
Denanyar Jombang Jawa Timur
Salam untuk penulis novel
[JADILAH PURNAMAKU NING]
[salut!]
Untuk mengurangi kesepian, Gus Komar sengaja membawa seorang santrinya ikut serta. Mat Sirat namanya. Setahun mondok, dia jatuh cinta. Faizah namanya. Leganya, karena dia pun puteri kiai besar di Pamekasan. Hebatnya, cinta itu diterima dengan besar hati oleh Faizah. Jadi, ia yakin Abahnya pasti setuju-setuju saja.
Nah, di situlah semuanya berawal dan berakhir. Dua minggu lagi, Faizah ulang tahun. Dia pernah berjanji memberinya hadiah ultah paling istimewa, paling langka, dan paling mewakili aspirasi hati dan perasaan. Seminggu lebih, ia meminta Mat Sirat mencari ide terunik, terlangka, dan terpaling terjarang. Dia sendiri sudah mentok. Sekarang tinggal sisa seminggu. Saking panik, dia diam-diam keluar dari pondok dan jalan-jalan ke pasar. Barangkali, dapat ide spesial. Hingga sore, mereka tetap saja tidak memperoleh yang dimaksud. Mat Sirat sudah berpeluh keringat.
“Gus, mbok yang wajar saja kan jadi mudah?” saran Mat Sirat letih. Mereka pun beristirahat di depan toko buku dekat pasar. “Ning Faizah kan gila novel? Kasih saja dia novel?”
“Huh, itu sih basi! Kalau novel kan sudah biasa bagi dia? Dia kan kutunya novel!”
“Ya sudah, puisi saja gus!”
“Huh, apalagi itu! Sudah nggak jaman!” Mat Sirat tidak membantah lagi. Bisa-bisa didamprat beruntun. Sudah kapok dia.
“Cari yang baru! Yang langka!” teriak Gus Komar lagi. Peluh keringat Mat Sirat tambah membanjir.
Mat Sirat hanya bisa mengelus dada. Ia bingung sendiri, memangnya apa yang bisa dianggap gusnya itu hal baru? Menjelang magrib, barulah Mat Sirat lega. Sang Gus mengajak balik. Ia tahu, gusnya itu paling kapok berurusan dengan Yai Mustofa.
Malam yang ganas. Mat Sirat terpaksa ikut begadang di lantai atas pondok. Beberapa kali, kedua matanya mengatup ngantuk. Tapi Gus Komar cepat-cepat menyiramnya dengan air. Alasan Gus Komar, mencari ide secara berjamaah itu hukumnya sunnah dan lebih barokah ketimbang sendirian. .Malam berikutnya hingga dua hari berturut sehabis ngaji mereka diam bengong di sana. Baru hari ketiga, Gus Komar menggantinya dengan bengong berjamaah di asrama. Nah, di hari keempat, Gus Komar mulai berjingkrak-jingkrak saat iseng membuka lemari seorang santri di kamar blok Z.
“Nah, ini dia! Ini dia!” pekiknya membabi buta sambil memegang kuat-kuat sebuah buku kecil agak tebal. “Akhirnya! Ketemu! Ketemu! Ahaii!!! Wooii!! Ketemuuuu!!!”
Mat Sirat penasaran dan segera mengamati situasi. Ternyata gusnya sedang memegang sebuah novel.
“Kukasih dia novel ini Mat!” serunya kegirangan.
“Loh, katanya ngadiahin novel itu sudah basi gus?” sergahnya. Gus Komar langsung melotot.
“He, tapi novel ini beda! Beda! Coba lihat!” Gus Komar segera menunjukkan novel itu. Mat Sirat bingung. Soalnya, yang namanya novel ya, tetap novel kan?
“Justru itu letak bedanya Mat! Novel ini beda!” Gus Komar kemudian menyerahkan novel mungil itu.
“Baca judulnya. Dan lihat gambarnya. Nah, itu baru mengaspirasi isi hatiku! Huahaha!” Mat Sirat menelaahnya dengan seksama. “Nah, pas bener kan judulnya? Coba baca judulnya keras-keras Mat! Aku ingin mendengarnya dibacakan!’
Dengan masih bingung, Mat Sirat pun segera membacanya.
[Jadilah purnamaku ning!]
“Kurang keras Mat! Lebih keras lagi!”
[Jadi..lah pur…na..ma…ku nnnnning!]
“Huh, masak suaramu kayak bebek sakit encok?” Dengan suara pekak memelas Mat Sirat kembali membacanya lebih keras.
RAUT WAJAH Gus Komar langsung berubah saat tahu novel itu milik Gus Umar. Kalo sama-sama gus, mana mungkin bisa dikasih gratisan? Setidaknya minimal dikasih harga miring? Jengkelnya, karena ternyata Gus Umar tidak rela novelnya dibeli.
“Tiga puluh ribu ya?” Gus Umar tetap menggelengkan kepalanya.
“Empat puluh?”
“Nggak boleh!”
“Aku naikkan jadi tujuh puluh?”
“Pokoknya..tetap dan mutlak nggak boleh!”
“Aduh, penting banget nih, Mar. boleh dong ya?” pintanya mulai memelas. Kalau saja, dia mondok di kota dan bukan di daerah terpencil, sudah pasti ia mengubernya hingga dapat! Lha, di daerah pedalaman begini mana ada toko buku begituan?
“Aku itu dapatnya dari kakakku yang mondok di Malang. Sulit dapetin lagi!”
“Gimana, seratus?” kembali Gus Komar memaksa nego. Gus Umar terdiam. Kemudian dia mengangguk.
“Mmm, kalo harga segitu? Ya, sangat boleh!” katanya dengan mata bersinar-sinar. Gus Komar mendengus. Padahal, uang itu barusan saja dikirim sama Abah. Kini, ia hanya pegang uang limapuluh. Untuk sebulan?! Tapi kan demi cinta?
Jantung Gus Komar serasa lenyap, ketika Faizah keluar dari pintu. Tadi pagi, melalui tiliksandi rahasia, ia mengirim sandi khusus meminta Faizah datang ke salah satu rumah santri di dekat pasar. Seperti biasa, di tangan Faizah sebuah novel tergemgam. Gus Komar paham betul itu. Ke mana-mana, bukannya kitab yang dipegang. Tapi malah novel. Dia sampe bingung, bisa-bisanya Faizah segila itu sama novel. Dan ia yakin, novel di tangan dirinya adalah novel paling spesial. Ia sudah baca semua novel Faizah. Tak ada yang model begitu. Seumur-umur, baru kali ini ada novel seperti itu. Novel santri man! Mana Faizah punya novel beginian? Kisahnya, hampir mirip dengan kisah sepupu Faizah sendiri. Jadi, surprise banget deh! Dengan ragu-ragu, Faizah pun duduk di depannya yang berjarak dua meter.
“Aku punya hadiah spesial untukmu.” Katanya tanpa basa-basi.
“Hadiah?”
“Lho, kan hari ini kamu ultah?” Faizah tertawa halus.
“Hehe, aku lupa kalo lagi ultah. Nggak pernah dirayain sih! Mana?”
Supaya rasa penasaran Faizah bertambah Gus Komar memintanya meletakkan dulu novel yang dipengangnya di atas meja dan menutup mata. Setelah novel diletakkan di meja, Gus Komar baru mengeluarkan bungkusan dari dalam tasnya. Belum sempat bungkusan itu sampai di meja kedua matanya langsung beku. Beberapa saat ia tertegun. Rasanya, ingin ia memutar waktu mogok ke belakang dan kejadian ini tidak pernah terjadi. Tidak pernah. Sama sekali. Ia sangat ingin hari ini sedang bermimpi. Tapi mata tak bisa ditipu. Ini memang kenyataan. Ia harus menerima kenyataan; hadiah ultah itu bukan lagi sesuatu yang istimewa.
“Kamu beli di mana novelmu?” tanya Gus Komar kacau.
“Di koperasi pondok kan banyak?” Gus Komar bengong. Di koperasi pondok banyak? Yang bener? Berarti? Apa memang dirinya yang kurang gaul? Faizah segera membuka bungkusan itu hati-hati.
“Oh, ini hadiah ultah istimewamu?” tukas Faizah mesam-mesem. Kemudian ia meletakkan dua buah novel itu rapat di meja. Tampak serasi. Apalagi gambar covernya emang nginspirasi!
“Memang spesial. Sangat langka! Istimewa!” lanjut Faizah berulang. Wajah Gus Komar langsung merah seperti kumpulan api unggun. Tapi memang istimewa sih. Lihatlah, dua novel yang kini tergeletak di atas meja itu. Nggak! Bukan kembar kok. Tapi…
[huh, baca sendiri judul dua novelnya tuh!}
[JADILAH PURNAMAKU NING]
[heh, tapi kan novel milik Faizah lebih kusut!]
Langka bukan? Istimewa bukan?
[Kalau saja cowok boleh menangis… ]
Hiks!
_________________________________
*Alumnus Santri Mambaul Maarif
Denanyar Jombang Jawa Timur
Salam untuk penulis novel
[JADILAH PURNAMAKU NING]
[salut!]
Labels: Cerpen Kami